SEJARAH ISLAM POLITIK DAN INTEGRATIF PASCA ORDE BARU



Sebanyak tiga puluhan partai Islam bakal menyemarakkan kontes demokrasi di Indonesia pasca Orde Baru. Ini merupakan fenomena menarik untuk dicermati, setidaknya untuk mengetahui sejauh mana umat Islam berpolitik dan berdemokrasi. Wacana Islam politik memang tengah mengedepan akhir-akhir ini. Siapa yang hendak mengetahui peta politik Indonesia kontemporer, faktor kekuatan politik Islam. Majalah Asiaweek Edisi 29 Januari 1999 misalnya, mengetengahkan fenomena strunggle over Islam, yang menyorot peran tiga arus utama kekuatan politik Indonesia mutakhir: ICMI, HMI, dan NU-Muhammadiyah. Menurut Asiaweek, saat ini umat Islam benar-benar tengah mempersiapkan diri dalam menghadapi pemilu bulan Juni 1999, dan ‘menggapai kekuasaan’.



Wacana ‘Islam Politik’ yang tengah berkibar saat ini, ironisnya, bersamaan datangnya dengan terjadinya kerusuhan-kerusuhan sosial, kondisi ekonomi dan politik bangsa yang tengah terlanda krisis. Akibatnya, wacana-wacana yang bersifat reaktif tampak lebih dominan, ketimbang wacana yang obyektif. Kemunculan partai-partai Islam, pada mulanya tak lepas dari semangat ‘romantisme masa lalu’ dan sedikit banyak ‘terjebak’ pada suasana euforia politik. Upaya untuk merebut wacana Islam politik, ditengah situasi sedemikian setidaknya menimbulkan dua masalah. 

Pertama, hal ini mampu menimbulkan kesan bahwa umat Islam mengalami proses, apa yang diistilahkan Nurcholis Madjid, ‘egoisme politik’ dan ‘komunalisme’. Di dalam tubuh umat Islam sendiri, pada mulanya tampak untuk menyebut beberapa kasus ‘upaya penolakan’ terhadap kehadiran kekuatan politik Islam tertentu, dan menuduh mereka telah bertindak egois padahal rakyat tengah kekurangan sembako. Penolakan M Amien Rais di beberapa kota di Jawa Timur tak lepas dari isu egoisme politik ini. Kehadiran partai-partai Islam pun juga menimbulkan intepretasi menumbuhkan kembali paham ‘sektarianisme’ dan politik aliran (atau, meminjam Eep Syaifulloh Fatah, ‘politik bendera’). Tapi, kehadiran ‘partai Islam’ yang berplatform kebangsaan dan bersifat inklusif, seperti PAN dan PKB ternyata mampu memberi nuansa lain. 

Kedua, kehadiran partai-partai Islam mampu menimbulkan kecurigaan ikhwal tuduhan-tuduhan lama, misalnya ‘negara Islam’ wlalupun boleh dibilang semua kekuatan politik Islam tak menghendaki ‘negara Islam’. Sinyalemen Theo Sjafei, misalnya, measih membuktikan kecurigaan tersebut. Tak dapat dipungkiri kelompok islamophobi pun muncul, seiring dengan menguatnya kekuatan politik Islam di Indonesia. Ketakutan itu, tak hanya sebatas soal ideologis, tapi juga ekonomi politis. Bangkitnya kekuatan politik Islam, dipercayai bakal menggusur ‘tatanan lama’, termasuk dalam konteks penguasaan ekonomi makro, yang selama ini, kebetulan, dikuasai oleh etnis Cina. 

Tapi, sebaliknya hadirnya kekuatan politik Islam memunculkan harapan-harapan baru, bagi terwujudnya sistem demokrasi dan masyarakat madani di Indonesia. Kemauan dan kesiapan yang signifikan umat Islam untuk menempuh jalan demokrasi, merupakan modal utama untuk menampilkan wajah Islam politik yang demokratis dan toleran di Indonesia. Dalam konteks ini, ada benarnya sinyalemen Nurcholish Madjid bahwa umat Islam relatif siap berdemokrasi, dibandingkan dengan kelompok lain. Nurcholish tidak apriori. Umat Islam, sejak zaman kemerdekaan, ‘kejayaan masjumi’ hingga kini memang telah banyak terlatih untuk berdemokrasi. Ormas-ormas Islam pun memiliki pengalaman yang kondusif untuk demokrasi: perbedaan pendapat selama ini, tidak harus membuat perpecahan, bahkan peperangan. NU banyak faksi tapi tetap kokoh. Eksistensi HMI tak goyah, walaupun ada HMI MPO. Muhammadiyah tetap besar, walaupun pernah ada kubu Amien dan kubu Lukman Harun. 

Nyaris semua pihak percaya, dan oleh karenanya mengharapkan bahwa pemilu yang bebas, jujur dan adil merupakan ‘solusi terbaik’ untuk mengakhiri era krisis yang tengah melanda bangsa ini. Artinya, demokrasi merupakan pilihan terbaikuntuk membangun kembali rasa percaya diri masyarakat yang selama ini porak-poranda akibat proyek depolitisasi, ‘penyeragaman’ politik dan monoloyalitas buta yang dipaksakan negara untuk (memilih) satu kekuatan politik tertentu. Munculnya beragam partai politik, mendekontruksi tatanan lama, sekaligus membangkitkan rasa percaya diri masyarakat (umat Islam) untuk berpolitik secara riil. 

Wacana Islam politik di Indonesia belakangan, juga bisa dipahami sebagai, meminjam Bahtiar Effendy, “pengingkaran terhadap logika transformasi pemikiran dan praktek politik yang telah berlangsung selama dua dasawarsa lebih ini”. Orde baru tidak memberi peluang politik lebih luas bagi umat Islam, konsekuensi logisnya: gerakan pemikiran keislaman berkembang. Nurcholish ,adjid memulainya diawal tahun 1970-an dengan menggulirkan ide ‘sekularisasi’, hingga slogan ‘Islam yes, Partai Islam no”. 

Gerakan pembaruan pemikiran Islam ini bergulir, hingga menghasilkan generasi-generasi baru Neo-modernisme Islam pasca Nuecholish. Booming sarjana muslim membantu semaraknya gerakan kultural tersebut dengan segala variannya, termasuk tumbuh berkembangnya gerakan kajian Islam di masjid-masjid kampus. 

Transformasi pemikiran dan praktek politik Islam semakin mantab tatkala bermuara pada restu pemerintah atas berdirinya ICMI, tahun 1990 di Malang. Hubungan Islam dan negara mulai cair, bahkan ada yang membayangkan telah terjadi ‘Islamisasi birokrasi’ dan Santrinisasi-priyayi’. Inilah embrio awal dari, apa yang disebut Bahtiar Effendy menuju integrasi Islam dan negara. Tetapi, tatkala setting sosial-politik berubah mendadak oleh gerakan reformasi, munculnya kembali politik aliran merupakan fenomena yang tak bisa diabaikan.


loading...

Subscribe to receive free email updates: